Berita 

Mengurai Salena

Oleh: Arman Seli

Sebuah Prespektif Linguistik

Salena merupakan suku Kaili etnis Unde (Topounde) tetapi dalam sejarah lisan orang tua bahwa Orang Salena juga mempunyai kedekatan dengan suku Kaili Da’a (Topoda’a) yang ditandai dengan proses kawin-mawin (nebulai)  orang tua dahulu kebeberapa wilayah Kaili Da’a (Dombu, Kinovaro) dan sebagainya.

Pada dasarnya Orang Salena juga masih mempunyai beberapa kesamaan kosa kata dalam dialek, walaupun di Salena dengan lingua franca Kaili Unde. Misalnya “etu” yang artinya dalam bahasa Da’a ” itu” tetapi sebagian Orang Salena juga menyebut itu dengan etu artinya secara historis masyarakat salena masih sangat mempunyai kedekatan yang erat dengan Kaili Da’a. sementara itu,  sebagian Orang Salena yang menyebut” itu” dengan “Botu”.

Selain proses nebulai,  bahasa juga membuat Salena  dekat dengan Da’a. Kemudian  menyebut ibu/mama orang Salena dengan indo/nindo yang mempunyai kesamaan dengan Topoda’a sementara Topounde pada umumnya menggunakan kata” Ina”. Hanya saja ketika menyebut kata tidak mereka sebut dengan “Unde”. Sehingga Orang Salena adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Topounde tetapi bukan berarti tidak punya kedekatan dengan Topoda’a.

Keseharian Orang Salena justru mempunyai kebiasaan yang sama dengan Topoda’a.  Pada dasarnya orang salena tidak mempunyai konsonan “R” dalam percakapannya, misalnya kata narau atau marah dalam bahasa Indonesia maka Orang Salena akan menyebut dengan maghau tidak dibaca magau tetapi egh lebih di tonjolkan. Adapun saat ini masyarakat Salena yang menyebut konsonan” R” karena adanya hubungan sosial yang terjalin dengan pihak luar terutama yang usia mudah. Sementara yang usia 50 tahun keatas lebih menyebut “R” dengan “egh”. Itulah yang membuat salena secara linguistik sangat unik

Adat Istiadat Antara Ritual dan Etika

Orang Salena tidak bisa dipisahkan dari adat istiadat karena sudah menjadi bagain hidup dan dipraktekkan secara turun temurun oleh leluhur. Adat istiadat bukan hanya berbicara persoalan ritual tetapi juga bicara soal  adab dan etika. Ritual adat tentunya kita lebih memahanmi hal tersebut dalam bentuk noviata, nompakoni,balia, vunja dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan adab dan etika adalah mengenai aturan seseorang dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara duduk, makan, berbicara semua diatur dalam adat. Orang salena mempunyai kebiasaan pada saat makan tidak boleh lewat dibelakang, sementara duduk dengan orang tua atau yang dianggap resmi  meluruskan kaki (nangojo) itu dilarang dan bertentangan dengan adat dan berdampak pada sanksi adat (givu).

Sementara itu ritual akan mengatur hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap tidak ada tetapi ada yaitu sang pencipta. Selain itu juga adanya kepercayaan kekuatan roh leluhur yang sudah meninggal (Viata) yang bisa memberikan pertolongan atas kehendak maha pencipta kepada anak cucu yang meminta pertolongan di dunia. Adapun yang diatur adat dalam etika yaitu hubungan sesama manusia yang didalamnya sopan santun, menghormati dan saling menghargai sesama.

Etika bukan hanya sesama manusia tetapi juga alam semesta, sebagai masyarakat adat yang percaya adanya kehidupan lain selain dunia juga mempunyai cara sendiri untuk bersahabat dengan alam ada tempat tertentu yang dianggap berpenghuni sehingga untuk menghargai itu orang salena seringkali kita dapatkan  memberi sesaji (Nompakoni) di batu, kayu dan yang lain dianggap sebagai tempat yang berpenghuni. Sehingga masyarakat adat salena juga menjaga hubungan dengan sesuatu yang ada tapi tidak ada (ghaib) dengan caranya sendiri.  Percaya bahwa ada kehidupan lain bukan berarti menyembah tetapi justru bersahabat dengan alam sekitar

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam

Masyarakat Salena mengelolah sumberdaya alam (SDA) mempunyai kebiasaan unik dan juga mempunyai zonasi wilayah berdasakarkan kegunaannya. Hal itu sudah dilakukan secara turun temurun. Bercocok tanam terlihat di salena saat ini merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan bukan berarti merusak hutan tetapi yang dilakukan justru dengan cara yang bijak dan arif sesuai dengan ketentuan adat.

Adapun sistem pengelolaan Sumber daya alam (SDA) berdasarkan Zonasi Wilayah adalah sebagai berikut:

  1. Pangale: hutan yang tidak diolah/belum pernah diolah oleh masyarakat.
  2. Tinalu: Kebun yang didalamnya berbagai tanaman jangka pendek, menegah bahkan ada juga jangka panjang
  3. Bonde: adalah kebun yang didalamnya ada tanaman jangka pendek, hampir sama dengan tilau tetapi bonde sebagian besar berukuran kecil.
  4. Mpakamangi: Lahan yang dibersihkan dengan tujuan akan dijadikan kebun tetapi pada akhirnya tidak bisa diteruskan karena ada tanda-tanda tertentu yang mengakibatkan yang membuka lahan akan sial/sakit apabila meneruskan lahan tersebut untuk menjadi kebun.
  5. Ova: Bekas lahan yang pernah diolah dan sudah ditumbuhi oleh kayu dan tanaman liar.
  6. Ombo: Penghentian sementara dengan batas waktu tertentu untuk mengelolah sumber daya alam. Misalnya ombo rotan sampai 5 tahun, ombo kayu untuk produksi arang 3-6 bulan, ombo menambang batu tradisional biasanya 1-2 bulan. Ombo dilakukan karena alasan tolak bala.

Berdasarkan penjelasan di atas tentang sistem pengelolan sumberdaya alam (SDA) masyarakat Salena memahami konservasi dan  menolak pernyataan pemerintah di orde baru yang menganggap masyarakat Salena sebagai perusak hutan. Masyarakat Salena adalah komunitas yang unik dalam bercocok tanam karena pembagian lahan yang dikelolah dan diatur secara adat. Sistem kepemilikan tanah  tidak dimiliki oleh individu tetapi dimiliki secara bersama dan menjadi hak ulayat. Mengelolah lahan juga dilakukan secara adat sehingga proses membuka lahan, menanam dan panen tidak terlepas dari proses tertentu.

Apalagi dalam pembukaan lahan padi ladang, mempunyai cara sendiri dari awal sampai akhir bahkan pada saat panen menggunakan bahasa panen yang disebut dengan bahasa maya. Itu semua karena masyarakat salena memahami bahwa indoku dunia umaku langi, kalimat filosfi ini bermakna bahwa ibu adalah bumi/tanah dan langit adalah  bapak sehingga dalam pengelolaan lahan atau tanah adalah ibu sementara hujan yang turun dari langit dianggap sebagai kasih sayang yang diberikan bapak kepada anaknya. Anak dari indoku dunia umaku langi adalah tanaman yang tumbuh di bumi sehingga kepercayaan itu sampai saat ini masih dipegang teguh. Ibu, bapak dan anak merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan  dalam filosofi ini. Hal demikian mengisyaratkan bahwa masyarakat setempat adalah proses hidup sejak dahulu kala tidak bisa dipisahkan dengan bercocok tanam.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi informasi tentang Salena. Menulis bukan berarti mengetahui segalanya tetapi saling memberikan informasi tidak kalah pentingnya daripada duduk diam dan tidak mengambil bagian untuk memajukan daerah.

Penulis adalah Pegiat Masyarakat Adat

Related posts

Leave a Comment